Generasi un
Generasi Ujian Nasional

Ujian Nasional atau lebih disingkat dengan UN merupakan suatu syarat kelulusan siswa menengah pertama (SMP) dan siswa menengah atas (SMA) di negeri ini. Suatu syarat kelulusan mutlak dimana pertaruhan pendidikan seseorang selama 3 tahun di SMP atau SMA yang hanya di tentukan dengan sejumlah lembar soal kompetensi dan dilaksanakan dalam waktu 3 hari. Sungguh ironis, mengingat semakin tingginya biaya pendidikan di dalam negeri yang tidak ditunjang dengan peningkatan kualitas pendidikan yang merata di seluruh daerah penjuru negeri ini. Coba kita renungkan sesaat dengan peristiwa keterlambatan distribusi soal UN SMA yang terjadi di 11 daerah Indonesia yang mengakibatkan terjadinya penundaan jadwal ujian nasional dan pada akhirnya memunculkan kekecewaan dari berbagai pihak, terutama dari siswa yang akan melaksanakan ujian nasional tersebut. Kekecewaan itu muncul, lantaran sudah adanya sejumlah upaya persiapan siswa dalam menyambut ujian nasional dengan harapan mendapat hasil yang maksimal dari ujian nasional saat ini. Namun, upaya tersebut telah menjadi sia-sia karena telah tertutupi dengan kekecewaan atas kekurangan dalam persiapan ujian nasional yang disediakan oleh pemerintah. 
Generasi UN, mungkin itulah yang patut kita tujukan atas budaya ujian nasional sebagai suatu syarat mutlak pendidikan menengah di negeri ini. Suatu pola pendidikan yang menurut saya kurang mencerminkan upaya pemerintah untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia melalui pendidikan sejak usia dini. Suatu pola pendidikan dengan menjadikan pertaruhan kompetensi ilmu kita kedalam lembar-lembar soal yang dikerjakan dalam waktu 3 hari. Pertaruhan kompetensi tersebut memunculkan sejumlah upaya siswa dan sekolah selama berbulan-bulan dengan tujuan untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam mengerjakan soal-soal yang diberikan. Selain itu, perubahan pola keseharian siswa juga turut dilakukan dalam hal ini menyangkut jam berlajar siswa yang ditingkatkan sehingga berpotensi meningkatkan tingkat stress dari siswa tersebut. 
Saat ini, polemik dengan keberadaan Ujian Nasional (UN) sedang menjadi perdebatan hangat diantara para pemimpin dan penguasa negeri ini dengan melibatkan sejumlah pakar pendidikan. Perbedaan pendapat dan pandangan mengenai Ujian Nasional pun cukup beragam di masyarakat kita. Namun, satu hal yang perlu saya sampaikan bahwa jika ingin mengetahui sejauh mana tingkat kompetensi siswa kita, tidak perlu dengan melalui pertaruhan dengan lembar-lembar soal tersebut. Coba kita pikirkan bagaimana pertaruhan ujian nasional ini tidak sebanding dengan pengorbanan siswa kita selama 3 tahun, baik itu materi, waktu dan tenaga. Sehingga jika kita hanya bermaksud ingin mengetahui tingkat kompetensi pendidikan siswa kita, cukup dengan melihat sejumlah data yang telah dirangkum oleh tiap-tiap sekolah dalam buku laporan evaluasi siswa yang lebih kita kenal dengan buku Raport siswa. Selain raport, perlunya pengamatan aktivitas ekstra-kurikuler pun cukup bisa menjadi data acuan yang menggambarkan sejauh mana tingkat kompetensi siswa sehingga permasalahan ujian nasional yang sudah menjadi permasalahan atau perdebatan tahunan ini tidak terulang kembali. (FA)